HUKUM KEWARISAN ADAT KERINCI
HUKUM KEWARISAN ADAT KERINCI
Megi Vornika
Sistem kewarisan yang dianut hukum waris adat di Kerinci adalah merupakan kombinasi antara sistem kewarisan individual bilateral dengan sistem kewarisan kolektif. Sistem kewarisan adat Kerinci menempatkan perempuan sebagai prioritas mendapat bahagian lebih banyak dari laki-laki atas dasar tanggung jawab, akan tetapi hal ini hanya berlaku bagi harta pusaka tinggi dan itupun terbatas kepada hak pakai saja sedangkan laki-laki berkuasa penuh atas harta pusaka tersebut. Di samping itu juga terdapat sistem pembagian sama rata baik terhadap pusaka tinggi (apabila sudah dirusak/sudah dijual) maupun pusaka rendah. Pandangan tokoh adat dan tokoh agama terhadap sistem kewarisan adat Kerinci dapat dilihat dalam perbedaan dan persamaannya sebagai berikut : Menurut Pandangan tokoh agama, Sistem pembagian harta warisan yang diterapkan di Kerinci adalah atas dasar kerelaan bersama, karena kerelaan dapat menjadi faktor penentu, selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Serta didasarkan atas beban tanggung jawab, di mana tanggung jawab yang lebih besar adalah dibebankan kepada anak perempuan. Pembagian anak laki-laki dan perempuan 1:1 adalah adil, bertitik tolak dari konsep maqasidut tasyri’ tujuan tasyri’ bahwa hukum Islam itu disyari’atkan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia. Kedudukan anak perempuan dalam hukum kewarisan Islam adalah sama derajatnya dengan anak laki-laki, dapat menghijab saudara baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hukum kewarisan Islam, anak perempuan mendapat hak 1/2 (seperdua) bagian dan apabila anak perempuan tersebut dua orang atau lebih maka mereka bersyarikat (bersama-sama) mendapat 2/3 (dua pertiga) bagian dari harta warisan pewaris. Dalam adat kerinci, waris lebih didominasi oleh perempuan.
Pengertian Waris Secara bahasa, kata Mawarits merupakan jamak dari kata mirats, (irts, wirts, wiratsah dan turats yang dimaknai sebagai mauruts) yaitu harta peninggalan orang yang telah meninggal yang diwariskan kepada para ahli warisnya. Orang yang meninggalkan disebut sebagai muwarits. Sedangkan yang berhak menerima harta waris disebut sebagai warits. Sedangkan menurut istilah, mawaris dikhususkan sebagai suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar-kecilnya oleh syara. Sedangkan makna al-mirats secara istilah menurut para ulama yaitu berpindahnya hak kepemilikan dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup, baik yang ditinggalkan tersebut berupa harta (uang), tanah, atau apapun itu yang berupa hak milik legal secara syar'i. Secara terminologi, hukum waris islam merupakan hukum yang mengatur tentang perpindahan hak kepemilikan dari harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan menetukan siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris dan berapa bagian dari masing-masing ahli waris. Di dalam hukum positif, warisan sering disebut sebagai hukum kewarisan, seperti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dinyatakan bahwa hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur mengenai perpindahan hak dan kepemilikan dari harta peninggalan pewaris, dan menentukan siapa-siapa yang berhak untuk menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.
Dasar Hukum dari Al-Qur’an Di dalam Al-Qur'an hal-hal yang berkaitan mengenai warisan sebagian besarnya diatur dalam surat an-Nisa`, antara lain yang tertuang pada ayat 7, 11, 12. Ayat-Ayat kewarisan dan hal-hal yang diatur didalamnya: a) QS. An-Nisa:7 mengatur mengenai penegasan bahwa laki-laki dapat mewarisi dan disebutkan juga dengan sebutan yang sama. b) QS. An-Nisa: 11 mengatur mengenai perolehan anak dengan tiga garis hukum, dan perolehan ibu bapak dengan tiga garis hukum, dan soal wasiat serta hutangnya. c) QS. An-Nisa: 12 mengatur mengenai perolehan duda dengan dua garis hukum. Soal wasiat dan hutang, perolehan janda dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang dan persoalan perolehan saudara dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang.
Dasar Hukum dari Hadist Meskipun Al-Qur'an telah menerangkan secara jelas dan rinci menegenai pembagian waris dan ahli waris. Akan tetapi, kewarisan juga didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW. Adapun Hadits yang berhubungan dengan hukum waris diantaranya adalah sebagai berikut: a) Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Artinya: “Nabi Muhammad SAW. Bersabda: berikanlah harta pusaka kepada orangorang yang berhak, sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (HR. Al-Bukhari Muslim). b) Hadist yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim: Artinya: “Orang Islam tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafirtidak berhak mewarisi orang Islam” (Muttafaq “alaih). c) Hadis yang diriwayatkan oleh Hudzail ibn Syurahbil: “Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan.” (Riwayat al-Bukhari).
Ijtihad merupakan pemikiran dari sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus mengenai permasalahan hukum islam salah satunya adalah mengenai masalah-masalah yang menyangkut warisan baik yang belum atau tidak disepakati, seperti halnya masalahmasalah lain yang dihadapi manusia yang ada dan sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur'an atau as-Sunnah dengan keterangan yang konkret, sehingga tidak menimbulkan bermacam-macam interpretasi, bahkan tercapai ijma' (consensus) dikalangan ulama dan umat Islam, namun juga ada yang membutuhkan ijtihad untuk memecahkan masalah guna menetapkan hukumnya yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya.
Syarat dan Rukun Pembagian Waris a. Syarat Waris ada tiga: 1) Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap setelah meninggal), yang dimaksud adalah meninggalnya seseorang yang sudah diketahui oleh seluruh ahli warisnya. 2) Adanya seorang ahli waris yang hidup pada waktu pewaris meninggal dunia. Maksudnya pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harta kepada ahli waris yang secara syariat masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. 3) Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian dari masing-masing ahli waris. Para ahli waris hendaknya diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat dan sebagainya, sehingga pada saat pembagian mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima pada ahli waris.
Rukun Waris ada 3: 1) Harta Warisan (Mauruts) Harta warisan (mauruts) merupakan harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan diberikan untuk para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan dari jenazah, melunasi utang-utang dari jenazah dan melaksanakan wasiat dari si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkah yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia yang telah dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai kepada para ahli waris. apa-apa yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia itu harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada:
a) Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya: benda bergerak, benda tidak bergerak, utang-piutang si pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai miliknya. b) Hak-hak kebendaan. Termasuk dalam kelompok ini yaitu hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan raya, sumber air minum, dan lainnya. c) Benda-benda yang berada ditangan orang lain. Misalnya, barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari orang lain, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah meninggal. d) Hak-hak yang bukan kebendaan. Misalnya hak syuf'ah yaitu hak beli yang mengutamakan untuk tetangga/serikat, dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau diwakafkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan merupakan harta bawaan ditambah dengan harta bagian dari harta bersama yang telah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit hingga meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang serta pemberian untuk kerabatan. Sedangkan yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah harta yang merupakan peninggalan oleh si pewaris baik berupa harta benda yang merupakan miliknya ataupun hak-haknya. Harta warisan merupakan harta bersih (netto), yang telah dipotong biaya-biaya keperluan dari pewaris selama sakit hingga meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, biaya pembayaran utang serta pembayaran wasiat si pewaris. Dan harta warisan tersebut dapat berbentuk harta benda milik pewaris ataupun hak-haknya.
Pewaris (Muwarits)
Pewaris (Al-muwarits) adalah mayat yang meninggalkan harta atau hak yang dapat diwarisi oleh ahli waris. Sedangkan di dalam kompilasi hukum Islam telah dijelaskan di dalam pasal 171.b. bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli Waris (Warits)
Ahli Waris (Al-Warits) yaitu orang yang berhak mendapat bagian dari tirkah (warisan) mayat yang dikarenakan ada salah satu sebab yang tiga yaitu ikatan nasab (darah/kekerabatan/keturunan), ikatan perkawinan ataupun ikatan wala’ (memerdekakan hamba sahaya), walaupun pada kenyataannya ada ahli waris yang tidak mendapat bagian dikarenakan terhijab (terhalang) atau sebab yang melarangnya. Diartikan juga bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Macam-Macam Ahli Waris Ahli waris ada dua macam, pertama ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak.
a) Ahli Waris Nasabiyah Kelompok ahli waris berdasarkan hubungan darah (nasabiyah) meliputi 4 kelompok: 1. Ayah dan seterusnya ke atas. 2. Anak dan seterusnya ke bawah. 3. Saudara dan anak-anaknya. 4. Paman dan anak-anaknya. Rincian dari ahli waris nasabiyah ini adalah sebagai berikut: 1. Anak laki-laki. 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dst. 3. Ayah. 4. Kakek dari ayah dst . 5. Saudara (Sekandung, seayah dan seibu). 6. Anak laki-laki dari saudara sekandung dan seayah. 7. Paman (saudara sekandung atau seayah dari ayah). 8. Anak laki-laki dari paman sekandung atau seayah dengan ayah.
b) Ahli Waris Sababiyah Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang dihubungkan dengan muwarits melalui 2 sebab, yaitu: 1. Pernikahan. 2. Perbudakan. Dari sebab pernikahan ada 2 orang ahli waris, yaitu: 1. Suami (janda). 2. Isteri (duda). Sementara dari sebab perbudakan, ada 2 golongan, yaitu: 1. Maula mu’tiq. 2. Ashabah li Maula Mu’tiq yang mendapatkan warisan ketika si maula mu’tiq meninggal dunia.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang dapat diterima dapat dibedakan kepada:
1. Ahli Waris Ashab Al-Furud, yaitu orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh nash Al-Qur'an, al Sunah, atau al-ijma. a) Anak perempuan, menerima bagian: ½ bila hanya seorang. 2/3 bila dua orang atau lebih. Sisa, bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian anak laki-laki. b) Ayah menerima bagian: Sisa, bila tidak ada fur'u waris (anak atau cucu). 1/6 bila bersama anak laki-laki (dan atau anak perempuan). 1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja. 2/3 sisa dalam masalah gharrawian (ahli warisnya terdiri dari: suami/istri, ibu dan ayah). c) Ibu, menerima bagian: 1/6 bila ada anak atau dua orang saudara lebih. 1/3 bila tidak ada anak atau saudara dua orang lebih, dan atau bersama satu orang saudara saja. 1/3 sisa dalam masalah gharrawain. d) Saudara perempuan seibu, menerima bagian: 1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah. 1/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah. e) Saudara perempuan sekandung, menerima bagian: ½ satu orang, tidak ada anak dan ayah. 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah. f) Saudara perempuan seayah, menerima bagian: ½ satu orang, tidak anak dan ayah. 2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah. Sisa, bersamaan saudara laki-laki seayah dengan keturunan separuh dari bagian saudara laki-laki. 1/6 bersama satu saudara perempuan sekandung, sebagai pelengkap 2/3 (altsulutsain). Sisa (ashabah ma’al ghair) karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki.
2. Ahli Waris Ashabah (Yang Mendapatkan Semua Harta) 'Ashabah didalam bahasa arab ialah anak laki-laki dari kaum kerabat pihak bapak. Para ulama sepakat, bahwa mereka berhak mendapat warisan. Adapun ahli waris yang berkedudukan sebagai 'Ashabah itu tidak berlaku baginya tentang ketentuan yang telah diterangkan terlebih dahulu (dzawil furudh). Apabila seorang meninggal tidak mempunyai ahli waris yang memperoleh bagian tertentu (dzawil furudh), maka harta peninggalan itu, semuanya diserahkan kepada 'ashabah. Akan tetapi, apabila ada antara ahli waris mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian 'ashabah.
Adapun macam-macam ahli waris ashabah terdapat 3 macam yaitu sebagai berikut:
a) Ashabah bin nafsi merupakan ahli waris yang karena kedudukan dirinya sehingga berhak menerima bagian ashabah. Kelompok ahli waris ini semua laki-laki, kecuali mu'tiqad (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki dari garis laki-laki
- Ayah.- Kakek (dari garis ayah)
- Saudara laki-laki sekandung
- Saudara laki-laki
- Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
- Anak laki-laki saudara seayah
- Paman sekandung
- Paman seayah
- Anak laki-laki sekandung
- Anak laki-laki paman seayah
- Mu'tiq dan atau mu'tiqab (orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba sahaya).
b) Ashabah bil al-ghair merupakan bagian sisa yang diterima oleh ahli waris dikarenakan bersamaan dengan ahli waris lainnya yang telah menerima sisa. Apabila ahli waris lainnya tidak ada, maka ia akan kembali menerima bagian tertentu semula. Dalam penerimaan 'ashabah bi al-ghair ini belaku ketentuan bahwa ahli waris laki-laki dapat menerima bagian dua kali lipat bagian perempuan, adapun bagian ashabah bi al-ghair adalah sebagai berikut: - Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki. - Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu garis laki-laki. - Saudara perempuan satu kandung bersama dengan saudara laki-laki satu kandung. - Saudara perempuan satu ayah bersama dengan saudara laki-laki satu ayah.
c) Ashabah ma'al gairi merupakan ahli waris yang meminta bagian sisa dikarenakan bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada maka ia dapat menerima bagian tertentu (al-furud almuqaddarah). Ahli waris yang mendapatkan bagian Ashabah ma'al gairi adalah:
- Saudara perempuan sekandung. Apabila ahli warisnya merupakan saudara perempuan satu kandung (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih), atau perempuan satu kandung dan cucu perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan tersebut menjadi 'ashabah ma'al ghair, sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian dari masing-masing, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
- Saudara perempuan sebapak. Apabila ahli warisnya merupakan saudara sebapak (seorang atau lebih) dan anak perempuan (seorang atau lebih), maka saudara perempuan tersebut menjadi 'ashabah ma'al ghair. Dan pelu diketahui bahwa saudara sekandung atau sebapak dapat menjadi 'ashabah ma'al ghair, apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, jika mereka mempunyai saudara laki-laki, maka statusnya (kedudukannya) berubah menjadi 'ashabah bil gahair (saudara sebapak menjadi 'ashabah karena ada saudara laki-laki)
3. Ahli Waris Dzawil Arham, Dzawil Arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, namun dikarenakan ketentuan, maka mereka tidak berhak menerima bagian. Kecuali apabila ahli waris yang termasuk ashab al-furudh dan ashab al ushubah tersebut tidak ada. Contohnya adalah cucu perempuan garis perempuan (bint bint). Hal ini sesuai dengan petunjuk umum dari ayat Al-Anfal ayat 7.
Sebab-Sebab yang Mewarisi
1. Hubungan Sebab Kekeluargaan (al-Qarabah) Al-Qarabah yaitu semua ahli waris yang mempunyai pertalian darah, baik laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak. Bahkan bayi yang masih terdapat di dalam kandungan juga mempunyai hak yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan bahwa ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi (menghijabi) ahli waris yang jauh, sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan al-Sunnah. Dan bagian wanita separuh dari laki-laki.
2. Hubungan Sebab Perkawinan (Al-Mushaharah) Perkawinan yang sah antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut hukum agama maupun kepercayaan dan hukum Negara, menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi jika salah satunya telah meninggal dunia. Untuk mengetahui adanya pernikahan tersebut, hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Soal pencatatan dan akta nikah hanyalah soal administrasi saja, namun membawa dampak positif yang cukup besar.
3. Hubungan Sebab Al-Wala’
Al-Wala' merupakan sebuah hubungan kewarisan yang disebabkan karena seseorang telah memerdekakan hamba sahaya, atau karena melalui perjanjian tolong-menolong. Bagian kewarisan yang diperoleh yaitu 1/6 dari harta pewaris. Dalam kompilasi sebab yang ketiga ini tidak dicantumkan, hal ini dikarenakan perbudakan sudah tidak diakui di zaman sekarang. Maka dari itu, hanya tercantum dua sebab yaitu sebab yang pertama dan kedua.
Sebab-Sebab Penghalang Waris
Halangan untuk menerima warisan atau disebut juga dengan mawani' al-irs adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya suatu hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-mawarris:
1. Pembunuhan tidak berhak mendapat warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surat Al baqarah ayat 72. Secara teknis mengenai pembunuh yang membunuh pewaris terhalang untuk mendapat harta waris, hal ini telah diatur dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam yaitu, “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. b) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang telah diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.
2. Perbedaan Agama Orang kafir tidak berhak untuk menerima harta warisan dari keluarga yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw, “orang islam tidak mewarisi orang kafir, dan demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang islam” (HR. Jama'ah). Dan hadis: “tidak saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda” (HR. Ashhab Sunan). Dan Firman Allah Swt. Dalam surat An-nisa ayat 141.
3. Perbudakan Budak diyatakan sebagai penghalang mendapatkan waris, dikarenakan status dirinya yang dipandang tidak cakap dalam hukum. Demikian mayoritas ulama'. Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 75.
Sebagai fakta dari sejarah bahwa perbudakan memang ada, bahkan boleh jadi secara de facto realitas perbudakan masih belum hilang dari muka bumi ini. Meskipun secara de jure eksistensi perbudakan tidak ada. Sedangkan menurut yang tertuang di dalam Undang-Undang Hukum Perdata pasal 383 yaitu dijelaskan bahwa yang terhalang untuk mendapatkan warisan adalah sebagai berikut: a) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal. b) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan yang telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiat nya. d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.
Cara Pembagian Warisan Menurut Islam, Aturan dan Ketentuannya
Hukum waris dalam Islam adalah aturan mengenai perpindahan hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli waris. Ahli waris atau ashabul furudh adalah orang-orang yang mempunyai bagian pasti dan terperinci, dari warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Harta warisan bisa berupa benda maupun bukan wujud benda, misalnya gelar kebangsawanan. Cara pembagian harta warisan telah diatur hukumnya dalam Al-Quran, dengan prinsip yang paling adil.
Dikutip dari buku bertajuk 'Pembagian Warisan Menurut Islam' karya Muhammad Ali Ash-Shabuni, cara pembagian harta warisan berdasarkan Al-Quran surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
1. Setengah (1/2)
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.
2. Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.
3. Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.
4. Duapertiga (2/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
5. Sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
6. Seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.
Dalam hukum Islam, ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur. Di antaranya:
- Budak
Seseorang yang berstatus budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya.
- Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya: seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya."
- Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang nonmuslim, apapun agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian penjelasan mengenai hukum dan tata cara pembagian harta warisan menurut Islam ke ahli waris.
Syarat-syarat hukum waris dalam Islam melibatkan berbagai aspek, termasuk status hubungan keluarga, agama, dan beberapa faktor lainnya. Berikut adalah beberapa syarat utama dalam hukum waris Islam:
- Kematian Pemilik Harta: Warisan hanya diberikan setelah kematian pemilik harta. Hukum waris berlaku saat pemilik harta meninggal dunia.
- Status Islam: Penerima waris haruslah seorang Muslim. Orang non-Muslim biasanya tidak berhak menerima warisan dari seorang Muslim.
- Hubungan Darah: Penerima waris harus memiliki hubungan darah langsung dengan almarhum. Ini melibatkan anggota keluarga seperti anak-anak, cucu, orang tua, dan saudara kandung.
- Ketidakadilan Terhadap Orang Lain: Warisan tidak boleh diberikan kepada penerima yang telah melakukan kejahatan terhadap almarhum, seperti membunuhnya. Jika seseorang terbukti bersalah atas kematian almarhum, mereka biasanya dilarang menerima bagian dari harta warisan.
- Ketidaktahuan Terhadap Kematian Almarhum: Penerima waris harus memiliki pengetahuan tentang kematian almarhum. Mereka tidak dapat menerima warisan jika tidak tahu tentang kematian tersebut.
- Prioritas Penerima Waris (Asabah): Penerima waris utama (asabah) memiliki prioritas dalam menerima bagian warisan. Penerima waris utama meliputi anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu. Namun, tidak semua anggota asabah menerima bagian yang sama; bagian tergantung pada tingkat hubungan darah.
- Ketentuan Bagi Laki-laki dan Perempuan: Hukum waris Islam memberikan bagian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Anak perempuan biasanya menerima setengah dari bagian yang diterima oleh anak laki-laki. Namun, prinsip ini dapat bervariasi berdasarkan situasi dan mazhab.
- Persetujuan Terhadap Wasiat: Jika ada wasiat, maka persetujuan penerima waris lainnya diperlukan untuk melaksanakan wasiat. Wasiat biasanya terbatas hingga sepertiga dari harta peninggalan.
Penting untuk diingat bahwa implementasi hukum waris dapat bervariasi berdasarkan konteks budaya, negara, dan mazhab Islam. Konsultasi dengan ahli hukum Islam yang kompeten atau ulama sangat dianjurkan bagi yang ingin memahami lebih dalam mengenai syarat-syarat hukum waris dalam Islam.
Prinsip-prinsip utama dalam hukum waris Islam adalah sebagai berikut:
- Penerima Waris Utama (Asabah)
Asabah adalah kelompok waris yang memiliki prioritas dalam menerima bagian harta peninggalan. Ini termasuk anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu. Penerimaan harta warisan didasarkan pada tingkat hubungan darah dengan almarhum.
- Porsi dan Pembagian Waris
Hukum waris Islam mengatur pembagian harta warisan menjadi bagian-bagian yang tetap dan telah ditentukan sebelumnya. Bagian ini dapat berbeda-beda tergantung pada hubungan dan status keluarga anggota waris. Pada umumnya, ada perbedaan dalam bagian yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Anak perempuan biasanya menerima setengah dari bagian yang diterima oleh anak laki-laki.
- Wasiat
Al-Qur'an memungkinkan seseorang untuk meninggalkan wasiat yang mencakup maksimal sepertiga dari harta peninggalan, dengan persetujuan penerima waris lainnya. Wasiat ini harus dilaksanakan setelah kematian dan pembayaran utang-utang.
- Penyelenggaraan Amanah
Hukum waris Islam juga menegaskan tanggung jawab dan kewajiban waris dalam mengelola harta peninggalan dengan keadilan dan kejujuran. Penerima waris harus mengelola harta tersebut untuk kepentingan bersama dan harus memenuhi kewajiban agama, seperti zakat dan sedekah.
Penting untuk dicatat bahwa praktik hukum waris dalam Islam dapat berbeda-beda di berbagai negara dan mazhab (paham) Islam. Ada perbedaan pendekatan dan interpretasi dalam mazhab-mazhab yang berbeda. Oleh karena itu, dalam praktiknya, pelaksanaan hukum waris bisa bervariasi tergantung pada konteks dan hukum lokal suatu negara. Jika Anda ingin memahami lebih lanjut tentang hukum waris dalam Islam, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli hukum Islam yang kompeten.
Berikut adalah beberapa prinsip umum mengenai besaran pembagian dalam hukum waris Islam:Anak Laki-laki dan Perempuan: Biasanya, anak laki-laki menerima dua kali lipat dari apa yang diterima oleh anak perempuan. Ini berdasarkan ayat Al-Qur'an (Surah An-Nisa, ayat 11) yang menyebutkan bahwa anak laki-laki menerima dua bagian, sementara anak perempuan menerima satu bagian.
- Orang Tua: Jika hanya ada satu orang tua yang masih hidup, ia berhak menerima sepertiga harta peninggalan anaknya. Jika kedua orang tua masih hidup, mereka berdua masing-masing menerima sepertiga. Ini berdasarkan ayat Al-Qur'an (Surah An-Nisa, ayat 11).
- Suami/Istri: Jika almarhum meninggalkan suami atau istri, maka pasangan hidupnya memiliki hak menerima bagian tertentu dari harta warisan, tergantung pada apakah almarhum meninggalkan anak-anak atau tidak.
- Cucu: Cucu berhak menerima bagian dari harta warisan, tetapi jumlahnya dapat bervariasi tergantung pada keberadaan penerima waris lainnya seperti anak-anak atau orang tua.
- Saudara Kandung: Saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan, juga memiliki hak menerima bagian dari harta warisan. Bagian mereka dapat bervariasi tergantung pada keberadaan penerima waris lainnya.
- Penerimaan Maksimal Sepertiga: Seseorang dapat meninggalkan wasiat yang mencakup maksimal sepertiga dari harta peninggalan. Wasiat ini harus diberikan dengan persetujuan dari penerima waris lainnya.
- Orang Asing atau Non-Keluarga: Biasanya, orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah langsung dengan almarhum (misalnya, teman, tetangga, atau organisasi) tidak berhak menerima warisan.
Penting untuk dicatat bahwa besaran pembagian harta warisan dapat bervariasi berdasarkan mazhab yang dianut dan peraturan hukum waris yang berlaku di negara masing-masing. Juga, beberapa negara memiliki peraturan hukum waris yang mengakomodasi perubahan sosial dan keadaan modern. Karena itu, disarankan untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli hukum Islam yang kompeten untuk memahami lebih lanjut mengenai besaran pembagian harta warisan dalam konteks tertentu.
Rukun hukum waris dalam Islam merujuk pada elemen-elemen penting yang harus dipenuhi agar proses pembagian warisan dapat dilakukan secara sah dan sesuai dengan ajaran Islam. Berikut adalah lima rukun hukum waris dalam Islam:
- Pemilik Warisan (Ma'al)
Merupakan orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang akan diwariskan. Pemilik warisan ini bisa berupa orang tua, suami/istri, atau anggota keluarga lainnya yang memiliki harta yang akan diwariskan.
- Penerima Waris (Warith)
Merupakan orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Penerima waris ini terdiri dari kelompok-kelompok yang memiliki hak waris sesuai dengan urutan prioritas dalam hukum waris Islam, seperti anak-anak, orang tua, suami/istri, dan lain-lain.
- Harta Warisan (Mawarith)
Merupakan harta yang ditinggalkan oleh pemilik warisan dan akan dibagi antara penerima waris. Harta warisan ini dapat mencakup properti, uang, dan aset lainnya yang dimiliki oleh almarhum.
- Pembagian Waris (Al-Faraid)
Merupakan proses pembagian harta warisan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Pembagian waris ini mengatur berapa bagian yang akan diterima oleh masing-masing penerima waris berdasarkan hubungan keluarga dan jenis kelamin.
- Pembagian Menurut Jumlah Penerima (Al-'Asaba)
Merupakan prinsip bahwa penerima waris haruslah anggota keluarga tertentu yang memiliki hubungan darah dengan pemilik warisan. Prinsip ini mengutamakan penerima waris utama (asabah) seperti anak-anak, orang tua, suami/istri, dan cucu dalam menerima bagian harta warisan.
Penting untuk diingat bahwa setiap rukun memiliki implikasi dan aturan khusus yang harus dipahami dengan baik dalam konteks hukum waris Islam. Rukun-rukun ini membentuk dasar bagi pelaksanaan hukum waris dan harus diperhatikan dengan seksama untuk memastikan pembagian harta warisan dilakukan secara adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Besaran pembagian dalam hukum waris Islam diatur berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad. Besaran ini tergantung pada jenis hubungan keluarga, jenis kelamin, dan status perorangan yang terlibat dalam pembagian warisan. Namun, perlu diingat bahwa besaran ini dapat bervariasi tergantung pada mazhab (paham) Islam yang diikuti dan peraturan hukum waris yang berlaku di berbagai negara.
Berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam Alqur’an dapat dijumapai dalam beberapa surah dan ayat, yaitu sebagai berikut:
1. Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak di temui dalam QS Al Baqoroh (2) ayat 233.
2. Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS An-Nisa’ (4) ayat 33, QS. Al-Anfal (8) ayat 75, dan QS. Al- Ahzab (33) ayat 6.
3. Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemui dalam QS An Nisa’ (4) ayat 7-14, 34, dan 176.
4. Ayat-ayat yang memberikan penjelesan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian pembantu).
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan harta yang dapat dialihkan kepada keluarga yang masih hidup. Sedangkan ahli waris ialah seseorang yang berhak atas harta warisan yang telah ditinggalkan oleh orang yang meninggal, dan pewaris yang berhak menerima harta warisan harus mempunyai hubungan nasab (kekerabatan) atau hubungan sababiyah (perkawinan) dengan pewaris yang meninggal mereka, kemudian pewaris baru berhak menerima warisan secara hukum dengan syarat sebagai berikut: 1. Ahli waris itu masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris. 2. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan. 3. Atau tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.
Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang. Persengketaan sering terjadi dalam keluarga Almarhum/Almarhumah. Diakibatkan sistem faraid yang dianjurkan Islam, tidak dilaksanakan dengan baik oleh para ahli waris, sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan. Hal tersebut disebabkan, karena harta warisan itu baru dibagi setelah sekian lama pewaris meninggal dunia, ada juga karena kedudukan harta yang tidak jelas, bisa juga disebabkan karena diantara ahli waris ada yang memanipulasi harta peninggalan tersebut. Sengketa perselisihan pembagian harta warisan ini tidak bisa dianggap remeh, karena bisa membawa dampak buruk bagi ahli waris yang ditinggalkan, bahkan bisa merusak dan memutuskan hubungan kekeluargaan di antara ahli waris. Lalu bagaimana mereka menyelesaikan persengketaan tersebut, maka hal yang dilakukan masyarakat untuk menyelesaikan konflik waris yang terjadi pada keluarganya, yakni dengan cara:
1. Musyawarah secara kekeluargaan.
2. Menayakan para ustad disekitarnya.
3. Menayakan kepada tokoh adat jikalau mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat.
4. Menyelesaikan ke Pengadilan Agama dengan ketentuan hukum negara, Indonesia khususnya.
5. Menyelesaikan ke MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Sebenarnya persoalan konflik yang terjadi pada umat Islam di Indonesia ini, penyelesaian persengketaan tersebut dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Sesuai pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989. Yang mana substansi undangundang tersebut mempertegas kekuasaan Pengadilan Agama. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tepatnya pasal (49), telah jelas bahwa setiap umat Islam yang berpekara, maka penyelesaian persengketaanya itu dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Sengketa waris merupakan kewenangan Pengadilan Agama yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada Pasal 49 yakni: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi syari'ah”. Dalam hukum acara Peradilan Agama sengketa waris diatur penyelesaiannya oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada Pasal 56 angka 2 yakni: “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutupkemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.” Intinya pada Pasal ini Pengadilan Agama dalam menyelesaikan suatu perkara harus melalui upaya damai (mediasi).
Mediasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi berarti sebagai proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. Dari pengertian mediasi ini, mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perkara maupun sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat didalam penyelesaian sengketa atau perkara merupakan pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasehat dan tidak memiliki wewenang apapun didalam pengambilan keputusan. Secara etimologi atau istilah, mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang memiliki arti berada di tengah. Makna ini menunjukkan peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya yaitu menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak yang bersengketa. Makna berada ditengah dalam hal ini mediator harus berada pada posisi yang netral, dimana mediator tidak memihak kepada siapapun dalam menyelesaikan sengketa tersebut dan ia juga harus mampu menjaga kepentingan dari para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menimbulkankan kepercayaan (trust) dari pada pihak yang bersengketa.
Mediasi adalah salah satu jalan penyelesaian sengketa yang menempatkan kedua belah pihak dalam posisi yang sama, tidak ada pihakyang dimenangkan ataupun dikalahkan (win-win solution). Penyelesaian sengketa melalui mediasi sudah dikenal sejak zaman dahulu, beberapa daerah di Indonesia sudah melaksanakannya, penggunaan mediasi dalam sistem hukum di Indonesia selain didasarkan pada kerangka peraturan perundang-undangan negara, juga dipraktikkan dalam penyelesaian sengketa dalam lingkup masyarakat adat atau sengketa-sengketa dalam masyarakat pada umumnya seperti permasalahan keluarga, waris, batas tanah, dan masalah-masalah perdata lainnya. Secara bahasa, mediasi yaitu menghentikan permusuhan atau perselisihan. Menurut syara’, mediasi merupakan proses perjanjian untuk menghentikan permusuhan kedua belah pihak.
Di Indonesia pengaturan tentang mediasi di pengadilan terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung tersebut dimaksudkan dalam rangka mengembangkan dan melembagakan mediasi dalam konteks perdamaian di pengadilan. Dalam konteks mediasi di Pengadilan, pengertian mediasi dijelaskan dalam ketentuan pasal 1 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 menyatakan bahwa: Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 pasal 1 ayat 1 menjelaskan tentang mediasi, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Mediasi dikenal sebagai salah satu bentuk dari penyelesaian sengketa antara para pihak yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut sebagai mediator, mediator yang harus bersifat netral, adil, dan memiliki keahlian dalam hal dipersengketakan, keputusan yang dibuat untuk mencapai kesepakatan tetap diambil oleh para pihak secara sukarela dan damai. Pada Pasal 1 ayat 2 dijelaskan mediator itu sendiri adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator memiliki tugas membantu yaitu untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa. mediaor tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan itu berlangsung. Hal tersebut juga merupakan salah satu bagian dari kode etik mediator.
Dari beberapa rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui perundingan. b. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan. c. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. d. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilan-ketrampilan khusus. ketrampilan khusus yang dimaksud ialah: a. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa. b. Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang dipersengketakan. c. Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa (win-win solution). d. Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang. e. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap hal-hal yang dipersengketakan.
Menurut Hukum Islam, secara etimologi perdamaian disebut dengan istilah Islah (as-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan antara dua pihak, adapun menurut Syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antar dua belah pihak yang saling bersengketa. Al-qur‟an QS. Al-Hujurat ayat 9-10. Berdasarkan dua ayat di atas memberikan petunjuk bahwa Allah swt. Sangat menganjurkan penyelesaian perkara atau sengketa di antara keluarga atau masyarakat pada umumnya secara damai melalui musyawarah untuk mencari jalan yang terbaik bagi kedua belah pihak. Salah satu kegiatan dalam mediasi adalah pada hakekatnya para pihak melakukan musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan. Landasan Al-Qur’an yang menjelaskan tentang anjuran menyelesaikan konflik dengan cara mediasi juga terdapat dalam QS. An Nisa ayat 35.
Selain dalil al-Qur’an yang menerangkan tentang perdamaian atau mediasi di atas dalam hadist juga diterangkan mengenai perdamaian. Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud alMahry menceritakan kepada kami Ibnu Wahbin menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Wahid Menceritakan kepada kita Sulaiman bin Bilal „Abdul Aziz bin Muhammad ada keraguan banyak dari Ibnu Zaid Ibnu Walid bin Rabbah dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian antara kaum muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal. Dan Sulaiman bin Dawud memberi tambahan Rasulullah bersabda: seseorang muslim yang menepati sesuai syaratsyaratnya. (HR. Abu Dawud).
Dasar Hukum Mediasi di Peradilan Indonesia Berikut beberapa landasan yuridis upaya damai pada lembaga peradilan hingga diwajibkannya mediasi dalam setiap penyelesaian perkara perdata di Indonesia;
1. Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah dan mufakat.
2. HIR pasal 130 (Pasal 154 RBg.=Pasal 31 Rv).
3. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 39, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 jo. UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama Pasal 65 dan 82, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang perkawinan Pasal 31 dan KHI Pasal 115, 131 ayat (2), ayat (1) dan (2), dan 144.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).
5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan;
7. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi yaitu prinsip kerahasiaan (Confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).
Prinsip pertama medisasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebut, serta sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi yang ia lakukan. Mediator juga tidak dapat dipanggil sebagai saksi di pengadilan dalam kasus yang ia prakasai penyelesaiannya melalui mediasi.
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Penyelesaian sengekta harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanya berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a uniqui solution). Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreatifitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat dengan pemberdayaan masing-masing pihak.
Peran dan Fungsi Mediator
Mediator memiliki peranan yang penting dalam menentukan suatu proses mediasi. Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antara pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan, menjaga keseimbangan proses mediasi dan menurut para pihak mencapai suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh mediator. Peran penting seorang mediator dapat digambarkan sebagai berikut: a. Mediator harus berada di tengah para pihak, mediator bertindak sebagai pihak ketiga yang menempatkan diri benar-benar di tengah para pihak. b. Mengisolasi proses mediasi, mediator tidak berperan sebagai hakim yang bertindak menentukan pihak mana yang salah dan benar, bukan pula bertindak dan berperan sebagai pemberi nasihat hukum (to give legal advice), juga tidak mengambil peran sebagai penasihat hukum (counsellor) atau mengobati (the rapits) melainkan hanya berperan sebagai penolong (helper flore). c. Mediator harus mampu menekan reaksi, dalam point ini seorang mediator harus mampu berperan untuk menghargai apa saja yang dikemukakan kedua belah pihak, ia harus menjadi seorang pendengar yang baik, mampu mengontrol kesan buruk sangka, mampu berbicara dengan terang dengan bahasa yang netral, mampu menganalisa dengan cermat fakta persoalan yang kompleks serta mampu berpikir di atas pendapat sendiri. d. Mampu mengarahkan pertemuan pemeriksaan, sedapat mungkin pembicaraan pertemuan tidak melentur dan menyinggung serta mampu mengarahkan secara langsung kearah pembicaraan ke arah pokok penyelesaian. e. Pemeriksaan bersifat konfidensi, segala sesuatu yang dibicarakan dan dikemukakan oleh para pihak harus dianggap sebagai informasi rahasia (convidentil information), oleh karena itu mediator harus memegang teguh kerahasiaan persengketaan maupun identitas pihak-pihak yang bersengketa. f. Hasil kesepakatan dirumuskan dalam bentuk kompromis (compromise solution), kedua belah pihak tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, tetapi sama-sama menang (win-win).
Fungsi mediator adalah sebagai penengah dan harus netral. Karena jika mediator bersikap netral, maka akan lahir ikatan berdasarkan kepercayaan. Mediator ini berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan kehendak dan kemauan para pihak. Mediator juga harus mampu menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win). Selain itu mediator juga bertujuan menolong dua belah pihak untuk mencapai kesepakatan dengan tetap netral dan menjamin kerahasiaan para pihak tidak merasa kehilangan, walaupun harus mengurangi hal yang menguntungkan mereka untuk mencapai kesepakatan.
Adapun tahapan dalam mediasi yaitu:
a. Tahap Pra Mediasi Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim menunda proses persidangan persidangan perkara unruk memberikan kesempatan proses mediasi lama 30 hari kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat memilih mediator yang dikehendaki. Ketua majelis hukum segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator.
b. Tahap Proses Mediasi Tahap Proses Mediasi merupakan tahapan yang bersifat informal dalam arti tidak secara berurutan diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, namun ada beberapa tahapan yang secara kebiasaan dilakukan. Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing dapat menyerahkan resume perkara. kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak telah 2 kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal yang disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
c. Mediasi Mencapai Kesepakatan Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika mediasi diwakili oleh kuasa hukum maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan ya ng dicapai. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
d. Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis proses mediasi telah gagal. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan manfaanya, kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan perselisihan diantara para pihak. Hal ini menunjukkan adanya keinginan para pihak untuk menyelesaikan sengketa, namun para pihak belum menemukan format tepat yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak.
Menurut Wirhanuddin, untuk menyelesaikan sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan. Dengan mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain: 1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, dan relatif murah dibandingakan dengan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau ke lembaga arbitrase. 2) Mediasi akan menfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologi mereka, sehingga mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya. 3) Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka. 4) Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan control terhadap proses dan hasilnya. 5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprekdiksi, dengan suatu kepastian melalui suatu consensus. 6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. 7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbitrase pada lembaga arbitrase.
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Yang secara yuridis diatur dalam pasal 1851 sampai pasal 1864 KUH Perdata. Pasal 1851 merumuskan perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Menurut Subekti, perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut suatu formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah. Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat dalam KUH Perdata pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut terdapat empat unsur, yaitu: 1. Persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengakhiri sengketa. 3. Perdamaian atas sengketa yang ada. 4. Bentuk perdamaian harus tertulis.
Menurut KUH Perdata perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam keadaan tertentu yaitu: 1. Pasal 1859, apabila telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau mengenai pokok perselisihan. Ia dapat dibatalkan dalam segala hal di mana telah dilakukan penipuan atau paksaan. Jadi ketentuan ini memberikan kemungkinan membatalkan suatu dading berdasar atas salah pengertian mengenai orangnya subyek persetujuan, juga salah pengertian mengenai soal perselisihan sebagai daya penghalang sahnya suatu dading. 2. Pasal 1860, apabila telah terjadi kesalahpahaman tentang duduk perkaranya, mengenai suatu alas hak yang batal. 3. Pasal 1861, apabila suatu perdamaian didasarkan atas surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. 4. Pasal 1862, suatu perdamaian mengenai suatu sengketa, yang sudah diakhiri dengan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, namun tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu dari mereka. 5. Pasal 1863, jika setelah perdamaian tentang segala urusan bagi kedua belah pihak diadakan, kemudian diketemukan surat-surat yang waktu itu tidak diketahui karena disembunyikan oleh salah satu pihak mengenai suatu urusan saja.
Sumber:
https://repository.iainkerinci.ac.id/tags/hukum-kewarisan-islam-masyarakat-adat-matrilineal-kerinci (Tanggal akses, 30 November 2023).
https://www.liputan6.com/hot/read/5364839/hukum-waris-dalam-islam-rukun-syarat-dan-besaran-pembagian?page=5 (Tanggal akses, 30 November 2023).
https://www.detik.com/jabar/berita/d-6155228/cara-pembagian-warisan-menurut-islam-aturan-dan-ketentuannya (Tanggal akses, 30 November 2023).
https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/17049/1/Skripsi_1502016154_Nadhiful_Marom.pdf (Tanggal akses, 30 November 2023).
Komentar
Posting Komentar